Kenapa langit berwarna biru?

Atmosfer menghamburkan cahaya Matahari, menyisakan keelokan biru buat mata kita.Atmosfer menghamburkan cahaya Matahari, menyisakan keelokan biru buat mata kita.

Celestron AstroMaster 130EQ

Teleskop ini cocok untuk pemula astronomi meski belum memiliki penggerak otomatis..

Objek Messier

Ingin memulai pengamatan langit malam? Kenapa tidak mencoba melihat Objek Messier.

Monumen astronomi bernama Borobudur

Lebih satu milenium lalu, candi Buddha ini adalah rumah ibadah sekaligus observatorium.

Lubang hitam yang mengerikan?

Apakah objek langit ini benar-benar seperti yang Anda pikirkan?

Friday, February 16, 2007

Gamma Ray Burst

Gamma Ray Burst (GRB) adalah ledakan terbesar di alam semesta semenjak Ledakan Besar saat kelahiran alam semesta. GRB akan teramati pada panjang gelombang sinar gamma dan dilanjutkan dengan afterglow pada panjang gelombang yang lebih panjang.

GRB dibagi menjadi dua jenis. Jenis yang pertama adalah Short Burst, berlangsung dalam masa kurang dari dua detik. Jenis ke dua adalah Long Burst yang berlangsung dalam rentang yang bervariasi antara 2 detik hingga ratusan detik, dan segera diikuti dengan peristiwa supernova. GRB merupakan petunjuk mengenai pembentukan black hole, objek eksotik yang muncul dari teori fisika yang hingga sekarang masih terus diburu keberadaannya.

Short Burst melibatkan peristiwa tabrakan dua bintang neutron. Long Burst merupakan hasil peristiwa keruntuhan pusat bintang masif, collapsar

Swift, satelit pertama yang dikhususkan untuk mendeteksi peristiwa afterglow GRB telah melakukan puluhan ribu pengamatan. Satelit ini cukup unik karena memiliki sensor sinar gamma yang dengan sigap menginformasikan peritiwa GRB kepada sistem teleskop sehingga teleskop segera mengarahkan moncongnya ke tempat kejadian perkara.

Baru-baru ini Swift menemukan GRB 060614 (deretan angka adalah tanggal pendeteksian). GRB ini agak aneh karena merupakan hibrida dari dua jenis GRB yang biasa ditemukan sebelum-sebelumnya. Tipe GRB 060614 adalah Long Burst, namun tidak ditemukan kejadian supernova pada peristiwa ini. Berarti GRB 060614 adalah jenis baru yang kembali membuat astronom mengatur ulang teori GRB.

Sumber: Swift homepage

Thursday, February 15, 2007

Gerhana Bulan Total, pagi 4 Maret 2007

Gerhana Bulan kembali hadir di Indonesia. Kali ini penampakannya lebih baik dibandingkan penampakan gerhana bulan September tahun lalu. Sayangnya momen gerhana total terjadi persis ketika bulan tenggelam di horizon barat. Namun untuk wilayah Indonesia bagian barat masih agak beruntung menyaksikan momen gerhana total, walaupun tidak sampai selesai. Pengamatan gerhana bulan total juga -mungkin, tetapi semoga tidak..- terkendala dengan kondisi cuaca yang agak mendung di beberapa wilayah Indonesia.

Tempat pengamatan terbaik adalah Eropa, Afrika, dan Jazirah Arab. Di Indonesia, wilayah optimal pengamatan adalah Nangro Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Riau.

Momen ke momen untuk Indonesia
Penumbra masuk ke piringan bulan pada pukul 03.18 WIB. Pada saat ini kita masih belum melihat ada sesuatu yang signifikan pada cahaya bulan. Wilayah Papua, Maluku, dan sekitarnya sudah tidak bisa mengamat pada pertengahan momen bulan ada di penumbra.

Kontak pertama umbra akan terjadi pada pukul 04.30 WIB. Akan terlihat ada bayangan tipis yang mulai memasuki piringan bulan. Bulan akan semakin terlihat gelap hingga saat total terjadi. Peristiwa ini masih bisa disaksikan di wilayah Sulawesi, Bali, Kalimantan dan Jawa.

Momen total akan terlihat pukul 05.44 WIB. Daerah yang masih bisa mengamati perstiwa ini adalah wilayah Sumatera bagian tengah (termasuk Bengkulu) hingga Aceh.

Puncak gerhana akan terjadi pukul 06.20 WIB. Aceh dan Sumatera Utara masih mungkin untuk mengamati peristiwa total ini, sementara cahaya fajar sudah semakin kentara.

Bulan akan meninggalkan Umbra pukul 08.11 WIB dan gerhana berakhir pukul 09.23 WIB.

Cara mengamat
Bagaimana cara mengamati gerhana bulan? Cara yang paling nyaman memang dengan teleskop. Teleskop berukuran 5 hingga 10 centimeter sudah cukup nyaman. Peralatan lain yang juga sangat membantu adalah binokuler (teropong medan)! Jangan ragu-ragu mengarahkan binokuler anda ke arah bulan, coba perhatikan wilayah umbra yang merangkak pada permukaan bulan. Cara lain adalah dengan mata telanjang, walaupun efek yang terlihat tidak begitu sensasional, tetapi anda dapat membedakan penampakan; sebelum gerhana, ketika bulan masuk penumbra, bulan masuk umbra, dan saat total.

Memotret gerhana
Karena gerhana kali ini terjadi ketika bulan akan tenggelam, maka alangkah baiknya jika dilakukan pemotretan dengan sudut lebar sambil menangkap foreground yang menarik. Bagi yang memiliki lensa tele dengan fokus sangat panjang, pemotretan sebaiknya dilakukan dalam sequences dengan periode tertentu sehingga hasilnya dapat disusun dalam bentuk mozaik yang baik. Eksposur yang baik untuk memotret gerhana bulan total bervariasi dari 1/100 detik hingga 1/4 detik. Silahkan memvariasikan eksposur dan harga ISO sesuai dengan keinginan. Tentunya kita menginginkan kontras yang cukup untuk bayangan bumi dan cahaya permukaan bulan.

Gerhana bulan di Indonesia
September lalu gerhana bulan yang terjadi adalah gerhana bulan umbra sebagian. Ketika itu kita harus menengadah untuk melihat gerhana karena bulan nyaris di dekat zenith ketika umbra mulai menyentuh piringan bulan.

Gerhana Bulan Total selanjutnya akan menghampiri Indonesia pada 28 Agustus 2007. Saat itu gerhana akan terlihat di horizon timur ketika bulan baru saja terbit.

Wednesday, February 14, 2007

Pengamatan Hilal Berbasis CCD

Pemerintah Indonesia menggunakan metode pengamatan bulan sabit muda (Rukyatul Hilal) untuk menentukan awal bulan-bulan Hijriyah. Rukyatul Hilal pada prakteknya digunakan untuk menentukan awal bulan selain Ramadhan, Syawal dan Zuhijjah. Dengan metode ini, pemerintah sekaligus menendang metode perhitungan (Hisab) yang lazim digunakan Muhammadiyah sebagai penentu keputusan.

Perbedaan teknik pengambilan keputusan ini menurut sebagian besar praktisi penanggalan Hijriyah disebabkan belum adanya kesamaan kriteria hilal. Permasalahan ini seharusnya bisa diselesaikan dengan membuat konsensus bersama yang diinisiasi oleh pemerintah. Namun, dari sisi pemerintah, belum ada keseriusan dalam meningkatkan kemampuan Rukyatul Hilal dan Hisab.

Dari perspektif Hisab, perhitungan yang lebih teliti sebenarnya sudah bisa dilakukan dengan komputer. Sebagai contoh, sekarang ini telah tersedia peta langit lengkap dengan katalog yang dapat mensimulasi keadaaan langit ketika terjadi konjungsi bulan. Ketelitiannya dapat diacungi jempol, setidaknya rentang kesalahannya masih dapat ditolerir yaitu melenceng maksimal 1 detik busur. Pemerintah bisa saja menggunakan software ini peta langit ini. Jika "sungkan" menggunakan peta langit buatan orang lain, pemerintah bisa membuat software sendiri dengan bertolak dari pengamatan rutin secara tekun dan teliti selama puluhan tahun lalu. Kemungkinan terakhir rasanya seperti mencoba menemukan roda (reinventing the wheel).

Rukyat, sebagai metode yang digunakan pemerintah, lebih parah lagi. Teknik instrumentasi astronomi berkembang pesat namun pemerintah masih menggunakan peralatan sederhana seperti theodolit. Pemerintah seharusnya mulai beralih menggunakan teleskop yang ditemukan 400 tahun lalu. Alat bantu ini tidak saja memperbesar bayangan hilal namun bisa diatur agar meningkatkan kejernihan dan kekontrasan gambar terhadap cahaya langit di latar depan.

Dari sekian banyak lokasi pengamatan hilal di Indonesia, masih sedikit pengamat hilal yang memakai teleskop. Menurut seorang dosen astronomi, pengamat enggan memakai teleskop karena tidak bisa mengarahkan teleskop ke arah hilal!


Bulan dan Venus pada siang hari
sumber: http://antwrp.gsfc.nasa.gov/apod/ap061030.html

Hilal merupakan sabit bulan paling tipis yang dapat diamati manusia di permukaan bumi. Cahaya dari sabit bulan berkompetisi dengan langit sore yang terang. Pengamat, yang secara psikologis sangat menantikan hilal, sering bersugesti melihat hilal. Padahal kenyataannya ia sedang melihat lampu nelayan atau planet Venus.

Karena itu, saya dan teman-teman bersepakat untuk mengimplementasikan sebuah sistem pengamatan hilal berbasis kamera CCD. Prinsipnya, pengamatan sabit bulan muda dilakukan menggunakan teleskop. Selanjutnya, pada ujung teleskop diletakkan kamera CCD. Penempatan kamera CCD ini agar pengamat tak perlu lagi menempelkan mata ke teropong.

Kamera CCD merekam bayangan bulan sebagai berkas gambar digital yang disimpan di hard disk. Berkas digital ini bisa diekstrak menggunakan algoritma pengolahan gambar sehingga penampakan hilal bisa terpisah jelas. Pengamat juga bisa melihat langsung gambar sabit bulan muda melalui monitor. Pun Quick Image Processing bisa dilakukan secara terpisah. Data pengamatan ini, hasil pemrosesan software atau olahan pengamat, segera diupload ke web melalui jaringan internet sehingga bisa dilihat publik. Pengamatan hilal menjadi lebih akurat dan cepat sekaligus menyadarkan masyarakat akan proses pengamatan hilal.

Selain dapat melihat hilal, data CCD dapat diproses di kemudian hari. Hasil pemrosesan ini bisa disumbangkan untuk data pengamatan hilal seluruh dunia. Saat ini jumlah data hilal dunia, khususnya dari bumi belahan selatan, memang masih sedikit. Indonesia akan memainkan peranan penting dalam penelitian hilal karena punya wilayah yang luas dan zona waktu yang lebar.

Implementasi ide ini akan berupa sebuah riset dengan periode Maret hingga Juni tahun ini. Untuk tempat pengamatan sejauh ini kami sepakat di Observatorium Bosscha dan Pelabuhan Ratu.

Sebagai akhir tulisan saya ini berikut ada file presentasi yang diberikan oleh teman saya, Evan, yang membahas mengenai kalender hijriyah. Bagi anda yang berminat, silakan mendownloadnya berkas berukuran ~900kb.

Thursday, February 1, 2007

Paradoks Olber

Kenapa Langit Malam itu gelap?

Kita tahu bahwa langit pada malam hari ditaburi oleh banyak bintang, lalu kenapa langit malam tetap saja gelap? Kenyataan bahwa langit malam itu gelap, bukannya terang oleh cahaya bintang, dikenal sebagai Paradoks Olber. Olber bukan orang pertama yang mempertanyakan hal ini, Thomas Diggeslah yang pertama.

Kebayakan dari kita menerima begitu saja bahwa siang itu terang dan malam itu gelap. Padahal apabila kita pikirkan lebih jauh ada banyak sekali bintang, dan jarak matahari ke bintang-bintang lain adalah beragam, sehingga akan selalu ada bintang ke manapun kita memandang.

Thomas Digges ketika itu berimajinasi mengenai bola-cahaya (baca: bintang) yang melayang dan terserak di ruang yang tak terbatas. Dengan asumsi bahwa alam semesta itu tak berbatas maka kita dapat melakukan integrasi kecerlangan setiap "lapisan langit" dari radius nol hingga tak berhingga. Hasil integrasi ini tentu saja adalah kecerlangan langit total.

Mari kita tinjau lebih jauh. Andaikan terdapat suatu lapisan kulit bola dengan ketebalan tertentu (tebal dR) yang berpusat pada bumi dengan radius R, lapisan ini disi oleh banyak bintang (sejumlah n). Kita dapat menghitung kecerlangan langit total dengan cara menjumlahkan seluruh lapisan ini. Jika kita tinjau untuk setiap lapisan maka kecerlangan tiap lapisan akan bergantung pada ketebalan lapisan, dR, bukan pada radius, R. Setiap pertambahan radius R maka kecerlangan bintang akan berkurang sesuai dengan hukum "kuadrat jarak terbalik", namun hal ini dikompensasi dengan pertambahan jumlah bintang mengingat volume yang dilingkupi oleh lapisan kulit bola juga ikut bertambah sehingga kcerlangan laisan dapat selalu kita anggap konstan.

Integrasi seluruh lapisan dari jarak nol sampai tak hingga menghasilkan angka tak hingga (wajar saja, yaitu mengalikan suatu konstanta dengan tak hingga). Jadi dapat disimpulkan: langit malam harus lah terang.

Teori yang berbeda dengan keadaan yang sebenarnya (tentu saja langit malam tidak "terang") membuat bingung ilmuwan-ilmuwan abad ke-19. Barulah pada abad ke-20 ditemukan resolusi ilmiah bagi Paradoks Olber. Adalah pandangan Einstein, melalui postulatnya, merubah cara pandang ilmuwan terhadap alam semesta. Bagi Einstein cahaya itu memiliki keterbatasan dalam hal kecepatan, sehingga kita akan memiliki keterbatasan dalam mengamati alam semesta yaitu alam semesta yang bisa kita amati hanyalah pada batas jarak tertentu, jarak tersebut dikenal sebagai horizon distance.

Juga, pandangan alam semesta Einstein yang menyangkal pandangan alam semesta Euclidian menjungkalkan asumsi hukum "kuadrat jarak terbalik" yang digunakan untuk membangun Paradoks Olber. Teori relativitas Einstein juga mengizinkan suatu alam semesta yang relatif terhadap pengamat, bukan alam semesta statis. Sehingga cahaya dari kejauhan akan mengalami pergeseran merah atau biru mengikuti kembang atau kontraksi alam semesta.

Sebelum Hubble berhasil mengamati gerak menjauh galaksi-galaksi, alam semesta yang diyakini adalah alam semesta statis, sehingga wajar saja ketika itu asumsi alam semesta yang tak terbatas dan sangat tua digunakan sebagai asumsi.

Sebenarnya Edgar Allen Poe pada 1848 telah menjawab Paradoks Olber melalui buku Eureka: A Prose Poem,
.. the only mode, therefore, in which undersuch a state of affairs, we could be by supposing the distance of the invisible background so immense that no ray from it has yet been able to reach us at all.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More